Arsitektur Indonesia?

Abidzar Al Ghifari
2 min readAug 30, 2020

--

Hanya sekadar beropini saja. Tetapi, kenapa sih arsitektur Indonesia masih sulit untuk didefinisikan? Atau, sekadar orang luar melihat, “oh ini lho arsitektur Indonesia”?

Bagi saya, jawabannya: karena budaya Indonesia yang heterogen sekali (punya >700 suku dengan budaya yang berbeda-beda) jadi sulit untuk men-define bentuk identitas utuh arsitektur Nusantara.

Gambar 1. Dhurung, rumah tradisional Bawean.

Beda dengan Jepang. Kalau tidak salah (silahkan koreksi kalau salah), Jepang itu termasuk homogen. Suku utamanya setahu saya hanya tiga. Sehingga, mudah kalau mau men-define arsitektur Jepang. Secara, ketiga suku itu budayanya tidak terpaut jauh.

Itulah sebab mengapa cukup sulit untuk menunjukkan “ini lho arsitektur Indonesia” ke dunia luar karena orang luar bisa saja melihat itu sebagai “arsitektur suku tertentu”. Misal: arsitektur Bugis, arsitektur Jawa, dsb.

Saya punya feeling, beberapa tahun ke depan, Indonesia akan memiliki style arsitektur yang baru sebagai hasil dari kulminasi budaya lokal dengan kondisi kekinian. Ditambah lagi dengan globalisasi yang sudah terjadi secara masif memberikan kemungkinan baru bahwa style tersebut takkan jauh berbeda dengan style yang dimiliki oleh negara lain. Tetapi, kalau kita kreatif dan berani membuat manifesto sendiri, rasanya hasilnya bisa lain dan “unik”. Namun, style itu “belum punya nama” dan masih akan terus berkembang.

Saya jadi teringat akan gerakan Metabolism-nya Jepang yang dimotori oleh Kenzo Tange dan kawan-kawan. Bagi saya, gerakan tersebut adalah bentuk dari upaya arsitek Jepang yang salah satunya adalah untuk men-define wajah dari arsitektur Jepang. Sejauh yang saya tahu, gerakan tersebut “berhasil” membawa wajah baru arsitektur Jepang yang mampu menerobos kumpulan manusia kreatif hingga rakyat Jepang yang awam pun kenal dengan arsitektur mereka sendiri.

Gambar 2. Kenzo Tange. (Sumber: The Pritzker Architecture Prize)

Rasanya, apabila kemunculan style arsitektur Indonesia yang “baru” ini dibarengi dengan adanya gerakan serupa Metabolism di Indonesia dan menjadikannya membumi ke kalangan orang awam, bukan tidak mungkin arsitektur Indonesia akan memiliki wajah yang “ajeg” dan lebih dikenal masyarakat luas.

Apa mungkin arsitek Indonesia perlu membuat manifesto sendiri seperti halnya gerakan Metabolism?

Ya, saya rasa, perlu sekali.

Jangan lupa, bahwa dalam gerakan Metabolism, perpaduan antara praktisi dan akademisi arsitektur cukup intens sehingga mampu mencapai tujuan awal dari gerakan tersebut.

Kalau memang ingin me-re-define arsitektur Indonesia, rasanya perlu bagi kita untuk menengok kembali apa yang dilakukan oleh Metabolism sejak dulu. Satu hal lagi. Apa yang bisa diambil dari arsitektur lokal kita adalah nilainya. Sedangkan, bentuk dan lainnya tidak mungkin diterapkan utuh mengingat kondisi zaman yang berbeda membutuhkan penyesuaian tersendiri.

Jakarta, 30 Agustus 2020

***
Referensi:

[1] Koolhaas, R., & Obrist, H. U. (2011). Project Japan: Metabolism Talks. New York: Taschen.
[2] Pangarsa, G. W. (2006). Merah Putih Arsitektur Nusantara. Yogyakarta: Penerbit Andi.

--

--

No responses yet