Mengubah Jakarta

Abidzar Al Ghifari
3 min readJun 6, 2020

--

Rajutan opini tentang Jakarta.

Lamat-lamat saya memandangi layar gadget.
Menonton sesama warga yang meributkan Ibukota.
Apalagi dalam masa pandemi.

Apa yang saya “tonton” kemudian hanya debat kusir tiada ujung.
Mempermasalahkan Jakarta yang menjadi pusat dari penyebaran corona di Indonesia. Memarahi Baswedan karena dinilai “abai”. Atau menyalahi Jokowi karena dianggap menghalangi Bapak Gubernur.

Sebetulnya, tanpa corona pun, seluruh Indonesia sengaja “dibelokkan” ke Jakarta untuk mengonsumsi permasalahan Ibukota. Mereka sengaja dibiarkan abai dengan permasalahan daerahnya sendiri. Mereka jeli melihat Jakarta, tetapi lupa melihat Surabaya. Atau, barangkali, isu Jakarta sangatlah seksi untuk dijadikan suatu konstestasi.

Masjid di Muara Baru yang lambat-laun termakan oleh laut.

Kenyataannya, permasalahan Jakarta selalu menjadi loncatan politik bagi sesiapa yang ingin menduduki kursi Istana.

Pertanyaan tetiba menyeruak di benak saya: adakah yang berniat untuk mengubah Jakarta bukan demi jabatan semata?*

Dalam tulisan saya sebelumnya mengenai Kampung Akuarium, saya menghadapi kenyataan pahit bahwa seluruh derita serta masalah Jakarta memang tak pernah diniatkan untuk selesai. Macet, banjir, serta tata ruang Jakarta dipelihara begitu saja selama puluhan tahun — bahkan seabad — entah untuk apa. Banyak orang baik yang saya tahu teruji ilmunya, toh pendapat mereka hanya menjadi senjata politisi untuk menjual popularitas mereka sebagai “pengubah Ibukota”.

Makanya, dalam hajatan lima tahun sekali, baik macet; banjir; hingga kekumuhan hanya menjadi jualan politik. Tanpa ada satu pun yang benar-benar ingin menyelesaikannya secara nyata. Sudah begitu, yang diberi panggung untuk berbicara masalah Jakarta kebanyakan hanya politisi yang tak paham tata kota atau keilmuan arsitektur kota. Mereka hanya bersuara untuk memuaskan nafsu politik yang kian membara di ujung kepala.

Akhirnya, publik “tertipu” dengan rayuan manis politisi. Politisi berhasil membagi dua warga Jakarta: pro atau kontra pemerintah provinsi. Narasi yang digalang soal masalah Jakarta akhirnya menjadi narasi sesat. Seolah-olah, masalah Jakarta adalah ini, akhirnya penyelesaiannya menjadi itu.

Ambil contoh: reklamasi.

Jakarta diisukan akan tenggelam. Penurunan tanah terjadi — menurut beberapa pihak— secara ekstrem. Sehingga, tahun 2050, Ancol hanya menjadi kenangan belaka. Atas dasar inilah, publik digiring opininya untuk meyakini bahwa reklamasi menjadi suatu solusi untuk menghadang masuknya air laut menuju Jakarta.

Sebetulnya sih, reklamasi tidak salah asalkan dikaji dengan tepat secara keilmuan lingkungan atau keilmuan tata kota. Tetapi, yang terjadi, reklamasi hanya menjadi ajang rebutan pengembang demi mengamankan “jalur naga” di Utara Jakarta yang pangsa pasarnya amat tinggi.

Itu baru reklamasi. Apa kabar rencana tata ruang Jakarta?

Sudah menjadi rahasia umum bahwa rencana tata ruang Jakarta dapat dibeli sesuai pesanan. Kajian ilmiah mengenai bagaimana seharusnya Jakarta ditata ya dapat “dikondisikan” mengikuti pesanan. Area yang seharusnya menjadi ruang hijau justru diubah menjadi mal. Akhirnya, tak heran, urusan banjir di Jakarta tak pernah selesai. Karena banyak ruang hijaunya sudah diubah menjadi ruang terbangun. Akar masalahnya ya pada perencanaan tata ruang. Sudah rusak sejak awal.

Makanya, saya selalu skeptis dengan orang yang mengatakan bahwa masalah Jakarta adalah hanya seputar macet, banjir, dan mau tenggelam. Itu tandanya ia tidak paham apa akar masalah yang sesungguhnya.

Itulah sebab saya tidak pernah bosan untuk menyuarakan kedua hal ini:
1. Tata ruang yang rusak;
2. Birokrasi yang kurang kompeten.

Andaikan tata ruang Jakarta dirancang secara optimal dan bijak, saya yakin masalah hilir seperti macet dan banjir akan selesai dengan sendirinya. Ditambah lagi, apabila Jakarta dikelola oleh birokrasi yang kompeten dan bersih, lengkap sudah Jakarta menjadi kota yang maju dan berkeadilan.

Udah ah itu aja. Ntar kalo ada tambahan gw tulis lagi di tulisan selanjutnya hehe.

Jakarta, 6 Juni 2020

--

--

No responses yet